Ada kabar terbaru mengenai aset kripto, dimana hal tersebut dijelaskan dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang sudah resmi masuk ke dalam daftar Prolegnas RUU DPR. Sehingga hal ini perlu mendapatkan masukan dari berbagai pihak.
Dan sifat RUU PPSK sebagai Omnibus Law di mana berbagai revisi UU terdahulu dan pembentukan pasal baru dalam satu RUU, maka perlu dikaji secara mendalam. Salah satu yang mendapatkan perhatian luas dari pemangku kepentingan dan investor adalah pembahasan aset kripto yang dimasukkan pada RUU PPSK sebagai Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK).
Direktur Eksekutif Celios (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira turut mengomentari hal tersebut. Menurutnya, konsekuensi masuknya aset kripto sebagai bagian dari RUU PPSK artinya pengawasan dan regulasi aset kripto berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). Sementara seperti yang diketahui, selama ini aset kripto diatur oleh Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi).
“Kalau pengawasan diatur oleh OJK padahal aset kripto bukan didefinisikan sebagai cryptocurrency atau mata uang melainkan sebagai komoditi, maka akan terdapat dualisme pengawasan. Tentu ini membuat banyak pihak bertanya, bagaimana aset kripto didefinisikan ke depannya, apakah sebagai mata uang atau komoditi?”, katanya.
Baca Juga: Rupiah Digital dan Kontrol dari Bank Indonesia
Sebab, menurut Pasal 205 RUU PPSK, pihak yang menyelenggarakan ITSK wajib menyampaikan data dan informasi ke BI dan OJK. Dimana data ini harus sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Kemudian, dalam ayat 1 pasal tersebut berbunyi bahwa BI dan OJK melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sesuai lingkup kewenangannya yang diperkuat di dalam ayat 4.
Yakni, ketentuan lebih lanjut mengenai peraturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 sampai dengan ayat 3 Pasal 205 diatur dalam Peraturan OJK (POJK) dan Peraturan BI (PBI) sesuai dengan kewenangannya. Konsekuensi dari pasal-pasal tersebut bertolak belakang dengan regulasi sebelumnya, yakni menjadikan Bappebti sebagai otoritas yang mengatur dan mengawasi aktivitas aset kripto di Indonesia.
Aset Kripto Dilarang Digunakan Sebagai Alat Bayar
Sekadar informasi, aset kripto dilarang digunakan sebagai alat bayar di Indonesia. Namun, kripto termasuk komoditi bursa berjangka, sehingga tidak masalah selama digunakan sebagai investasi maupun komoditas yang diperjualbelikan oleh para pelaku pasar.
Aset kripto diatur oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan. Yaitu melalui Peraturan Bappebti No 2 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditas di Bursa Berjangka. Selain itu, aturan kripto juga tercantum dalam Peraturan Bappebti Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka.
Dan saat ini, investor kripto di Indonesia menembus 15,5 juta orang, dengan nilai aset mencapai Rp33,2 triliun per bulan hingga Juli 2022. Berdasarkan riset CELIOS, kripto merupakan jenis investasi ketiga tertinggi setelah emas dan surat utang pemerintah (SBN).
Baca Juga: Syarat Indonesia Bisa Jadi Pusat Aset Kripto Dunia
Nilai Transaksi Kripto di Indonesia Anjlok 56,35%
Sementara itu, Bappebti Kemendag mencatat, nilai transaksi aset kripto sejak Januari-Agustus 2022 mencapai Rp 249,3 triliun. Angkat tersebut mengalami penurunan 56,35% dari periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Penurunan nilai transaksi tersebut dinilai sebagai dampak dari kondisi perekonomian global saat ini. Ketidakpastian global membuat pasar kripto khawatir.
“Guncangan sistem keuangan global bisa memberikan efek cukup besar bagi pasar kripto,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo), Teguh Kurniawan Harmanda.
Teguh juga menambahkan, “Guncangan tersebut adalah situasi makroekonomi yang goyah akibat resesi dan geopolitik yang memanas. Hal ini bisa membuat situasi crypto winter bisa terjadi”.
Teguh yang juga menjabat sebagai COO Tokocrypto mengatakan, penurunan nilai transaksi kripto juga tidak terlepas dari kebijakan moneter AS, yang membuat investor kurang bergairah. Padahal, AS memiliki volume perdagangan Bitcoin terbanyak di bursa.
Baca Juga: Sampai Dimana Progres Bursa Kripto Indonesia?
Menurutnya, pengetatan kebijakan The Fed menaikkan suku bunga acuannya guna menekan inflasi bisa mengancam market kripto. Pasalnya, kenaikan suku bunga yang menyebabkan harga komoditas menjadi lebih tinggi dan daya beli melemah, dan pada akhirnya investor akan menjauhi market.
Selain faktor eksternal, Teguh juga menyoroti kebijakan pengenaan pajak aset kripto. Data internal asosiasi menunjukan, pajak menyebabkan efek yang berkepanjangan bagi pedagang atau exchange kripto lokal dibandingkan dengan global.
- Cara Membaca Pola Impulsif dan Korektif dalam Pola Elliott Wave Forex - Desember 4, 2024
- Inilah 5 Cara Mendapatkan Rebate Forex Secara Maksimal! - Desember 3, 2024
- Bagaimana Nilai Spread Forex Mempengaruhi Profit Anda? - November 22, 2024
Pingback: Pelaku Industri Aset Kripto Inginkan Kepastian Regulasi
Pingback: Bursa Kripto Dapat Cegah Investasi Bodong