Pada data sejak awal bulan Desember ini, dilaporkan bahwa industri aset kripto mengalami penurunan yang signifikan. Pasalnya, tercatat, sekitar US$ 400 miliar telah keluar dari pasar kripto. Tak hanya itu, mata uang digital paling populer yakni Bitcoin, juga mengalami penurunan sekitar 20% dari US$ 57.000 ke titik terendahnya di US$ 42.000 per BTC.
Diketahui, salah satu faktor yang memicu turunnya nilai mata uang digital adalah kebijakan moneter AS yaitu isu percepatan tapering. Kondisi ini diyakini memberikan pengaruh terhadap volatilitas harga pasar uang kripto yang terjadi belakangan ini. Untuk informasi, istilah tapering dijelaskan sebagai fase yang harus ditempuh oleh Amerika Serikat (AS) untuk mengembalikan posisi ekonomi setelah berbulan-bulan melaksanakan quantitative easing (QE).
Dimana QE merupakan bentuk kebijakan moneter tidak konvensional di mana bank sentral membeli surat utang jangka panjang dari pasar terbuka untuk meningkatkan jumlah uang beredar demi mendorong pinjaman dan investasi yang akan menggerakkan ekonomi. Membeli surat utang tersebut akan menambah uang baru ke perekonomian, dan juga turut menurunkan suku bunga serta mampu memperbesar neraca bank sentral.
Ramalan terbaru terkait mata uang digital kini datang dari seorang profesor senior kebijakan perdagangan internasional Cornell University. Saat wawancara di Squawk Box Europe yang dikutip dari CNBC Internasional pada hari Sabtu (18/12/2021), sang profesor mengatakan bahwa Bitcoin akan berumur pendek.
“Bitcoin sendiri mungkin tidak bertahan lebih lama”, katanya.
Secara garis besar, ramalannya tersebut dilatarbelakangi oleh 2 alasan. Yakni, Bitcoin kurang ramah terhadap lingkungan, dan Bitcoin tidaklah efisien. Sebagaimana diketahui, mengutip dari BBC International hari Kamis (11/2/2021), dilaporkan bahwa berdasarkan hasil riset Universitas Cambridge, Inggris, konsumsi listrik Bitcoin dalam setahun lebih tinggi dari seluruh Argentina.
Dimana untuk menghasilkan Bitcoin dilakukan aksi mining atau penambangan dengan melibatkan komputer khusus dan nyatanya kegiatan itu membutuhkan konsumsi daya listrik yang besar. Tak jarang komputer harus bekerja 24 jam selama tujuh hari. Dari penelitian tersebut, konsumsi listrik untuk menambang Bitcoin mencapai 121,36 terawatt-hour (TWh) setahun. Konsumsi stabil setiap tahunnya kecuali ketika harga Bitcoin turun yang buat penambang rugi melakukan aksi mining.
Selain itu, sang profesor yang juga merupakan seorang penulis buku “The Future of Money: How the Digital Revolution is Transforming Currencies and Finance” tersebut mengatakan bahwa Bitcoin tidak berfungsi dengan baik sebagai alat tukar.
“Mengingat bahwa Bitcoin tidak berfungsi dengan baik sebagai alat tukar, saya tidak berpikir itu akan memiliki nilai fundamental selain dari keyakinan investor apa pun yang dimilikinya”, ucapnya.
Terkait dengan hal ini, ia juga meyakini bahwa Bitcoin akan tergerus oleh ratusan jenis kripto lain yang menawarkan keunggulan lebih istimewa. Seperti yang diketahui, harga Bitcoin pada hari Jumat (17/12/2021) berada pada zona merah. Harga uang kripto Bitcoin, yang merupakan cryptocurrency dengan market cap terbesar, berada di level US$ 47.807,94. Dalam 24 jam terakhir, harga Bitcoin turun 2,65%. Dalam 7 hari perdagangan, harga Bitcoin turun 0,53%.
- 4 Perangkat Trading Forex yang Sangat Membantu Mobilitas Trader! - Oktober 17, 2024
- Pips Gold Forex: Definisi dan Cara Menghitungnya - Oktober 16, 2024
- Indikator Moving Median: Alat Bantu untuk Tingkatkan Akurasi Harga Pasar - Oktober 8, 2024
Pingback: Bagaimana Prediksi Nasib Bitcoin di Tahun 2022?
Pingback: Harga Bitcoin Terus Anjlok, Apa Penyebabnya?
Pingback: Robert Kiyosaki Kembali Prediksi Kehancuran Bitcoin