Crypto

Pajak Kripto dan Fintech, Pemerintah Kantongi Rp 339 Miliar

Pajak Kripto dan Fintech, Pemerintah Kantongi Rp 339 Miliar

Pajak Kripto dan Fintech, Pemerintah Kantongi Rp 339 Miliar

Dalam kabar yang terbaru, pemerintah berhasil kantongi penerimaan negara sebesar Rp 339,71 miliar. Untuk diketahui, uang sebesar itu berasal dari pajak kripto dan fintech P2P lending sejak bulan Juni hingga Oktober 2022.

Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan (Menkeu) merinci, penerimaan negara sebesar Rp 339,71 miliar berasal dari pajak fintech sebesar Rp 148,6 miliar dan pajak kripto sebesar Rp 191,11 miliar. Adapun pajak P2P lending dan pajak kripto merupakan pajak yang berlaku pada 1 Mei 2022 dan mulai dibayarkan dan dilaporkan pada bulan Juni 2022.

“Untuk finetch PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima WPDN dan BUT sebesar Rp 101,39 miliar. Dan PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WPLN sebesar Rp 47,21 miliar,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers APBNKita, hari Kamis (24/11/2022).

Sementara itu, untuk pajak kripto yang berhasil terkumpul Rp 191,11 miliar. Yakni sejak Juni hingga Oktober 2022 berasal dari PPh 22 atas transaksi aset kripto melalui PPMSE dalam negeri dan penyetoran sendiri sebesar Rp 91,4 miliar. Rinciannya PPN dalam negeri atas pemungutan oleh non-bendaharawan pada pajak kripto berhasil terkumpul Rp 99,71 miliar.

Baca Juga: Penerapan Pajak Kripto Dianggap Terlalu Dini

Apa Itu Pajak Kripto?

Dikutip dari berbagai sumber, dijelaskan bahwa pajak kripto merupakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah kepada investor atau pemegang aset kripto. Meski sebagian besar negara masih memiliki aturan pajak kripto yang belum jelas tentang cara kerja dan penerapan pajak cryptocurrency. Namun beberapa negara, aset cryptocurrency sudah mulai dikenakan pajak.

Sebagai informasi, di Indonesia sendiri, regulasi mengenai pajak kripto tertulis dalam peraturan resmi. Yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Transaksi Aset Kripto. Dan aturan pajak kripto ini telah diberlakukan sejak 1 Mei 2022.

Aturan ini berlaku untuk seluruh jenis transaksi aset kripto seperti jual-beli (trading) aset kripto dengan mata uang fiat, tukar-menukar (swaping) aset kripto dengan kripto lainnya. Atau tukar-menukar aset kripto dengan barang selain aset kripto dan/atau jasa. Dan pajak crypto ini juga berlaku sama dengan pajak atas transaksi Non Fungible Token (NFT).

Pada beberapa negara, aset kripto dianggap sebagai sumber penghasilan. Hal tersebut yang menjadi alasan mengapa aset kripto dan NFT dikenakan pajak, seperti halnya pajak penghasilan. Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Indrasari Wisnu Wardhana pun menjelaskan. Bahwa penerapan pajak aset kripto dapat menjadi insentif bagi investor untuk masuk ke pasar perdagangan aset kripto di Indonesia, khususnya para investor mancanegara.

Baca Juga: Indonesia Diprediksi Jadi Sentral Ekosistem Aset Kripto Asia Tenggara

Bagaimana Penghitungannya?

Mengulang penjelasan di atas, aturan terkait pajak kripto Indonesia resmi diterbitkan dan mulai berlaku pada 1 Mei 2022. Dan besaran pajak kripto tertulis dalam peraturan resmi. Yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Transaksi Aset Kripto. Dengan adanya aturan tersebut, perdagangan aset kripto akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).

Bagi investor kripto, PPN akan dikenakan atas penyerahan aset kripto tersebut kepada pihak lain, baik itu jual beli atau tukar menukar. Berikut besaran tarifnya:

1. 1% dari tarif PPN dikali dari nilai transaksi aset kripto jika melakukannya pada platform jual beli kripto yang terdaftar di Bappebti; atau

2. 2% dari tarif PPN dikali nilai transaksi aset kripto jika transaksi pada platform yang tidak terdaftar di Bappebti.

Adapun investor kripto akan dikenakan PPh dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari penjualan aset kripto. Besarannya:

1. Jika transaksi dilakukan di platform yang terdaftar di Bappebti dikenakan tarif 0,1% dari transaksi kripto

2. Jika transaksi dilakukan di platform yang tak terdaftar di Bappebti dikenakan tarif 0,2% dari transaksi kripto.

Sedangkan terkait dengan pajak atas fintech juga tertulis dalam aturan resmi. Yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022. Pajak penghasilan (PPh) dikenakan kepada pemberi pinjaman dan penyelenggara layanan pinjaman online (pinjol). Pajak penghasilan yang dikenakan kepada pemberi pinjaman dan atau penyelenggara pinjol adalah PPh 23 atau PPh 26. Yang dikenai PPh ini adalah penghasilan berupa bunga pinjaman yang didapat dari nasabahnya.

PPh 23 dikenakan kepada pemberi pinjaman dan atau perusahaan pinjol di dalam negeri (wajib pajak dalam negeri) dan memiliki bentuk usaha tetap, dengan tarif 15 persen dari jumlah bruto bunga yang didapat dari nasabah. Dan PPh 26 dikenakan kepada pemberi pinjaman berbasis luar negeri (wajib pajak luar negeri) yang bukan berbentuk usaha tetap, dengan tarif sebesar 20 persen dari jumlah bruto bunga yang didapat dari nasabah.

Baca Juga: Pertumbuhan Aset Kripto di Indonesia Masuk Top 20 Dunia

William Adhiwangsa
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top