Crypto

Meski Ethereum Sempat Naik Tinggi, Namun Bitcoin Tetap Buat Orang Tergila-gila

Meski Ethereum (ETH) di awal tahun harganya sempat melejit. Namun pesona Bitcoin (BTC) tampaknya belum bisa tergantikan.

CEO Triv.co.id Gabriel Rey menekankan bahwa Ethereum tidak akan pernah menggantikan Bitcoin lantaran fungsi dari dua mata uang kripto tersebut benar-benar berbeda. ETH tidak memiliki batasan koin seperti halnya dengan BTC.

Melansir Kontan.co.id pada hari Senin (25/1/2021), Rey mengatakan “Lagipula, Ethereum merupakan koin utilitas dan bukan store of value seperti Bitcoin”.

Disamping itu, akan bermasalah jika harga ETH terlalu tinggi, karena akan membuat deFI dan ekosistem smart contract lainnya akan terancam akibat besarnya biaya transaksi.

Sementara itu, harga salah satu komoditas kripto paling populer di dunia, Bitcoin mencapai titik tertinggi baru di awal Januari, harganya hampir tembus U$$ 42.000 atau setara dengan Rp 588 juta per koin.

Bahkan perusahaan investasi, JP Morgan menyatakan, bahwa dalam jangka panjang, jika kapitalisasi pasarnya akan cukup tinggi sehingga Bitcoin bisa bersaing dengan emas.

Sebelumnya, JP Morgan menerbitkan sebuah catatan yang membahas terkait mata uang digital tersebut pada bulan Januari lalu. Dalam catatannya mereka meramal bahwa harga Bitcoin bisa mencapai US$ 146.000 atau setara Rp 2 miliar per koin.

Namun, bagi penggemarnya, Bitcoin bukanlah sekadar cryptocurrency, mata uang digital itu telah menjadi obsesi.

Meski Ethereum Sempat Naik Tinggi, Namun Bitcoin Tetap Buat Orang Tergila-gila

Meski Ethereum Sempat Naik Tinggi, Namun Bitcoin Tetap Buat Orang Tergila-gila

Melansir CNBC Indonesia hari Senin (25/1/2021), disebutkan bahwa alasan seseorang memilih Bitcoin adalah karena merupakan bagian dari indentitas si pembeli.

Seperti yang diketahui, penggemar Bitcoin memang memiliki jargon mereka sendiri yang penuh dengan akronim dan frasa dari “HODL” hingga “paus“. Ini semacam indentitas kalau mereka pemakai Bitcoin.

Saat diwawancarai Forbes pada Desember lalu, miliarder Mark Cuban mengatakan, “Bitcoin itu ″melebihi agama dalam hal solusi untuk masalah apa pun”.

Sementara itu, menurut profesor pemasaran Utpal Dholakia di Universitas Rice, yang mempelajari pengambilan keputusan keuangan konsumen, platform sosial juga dapat mendorong perilaku terkait pembeli Bitcoin.

Penelitian telah menunjukkan bahwa ketika orang berbicara tentang investasi mereka dalam lingkungan sosial secara online, mereka cenderung menjadi lebih mencari risiko dalam jenis investasi yang mereka buat.

Sebelumnya, Warren Buffett telah lama mengkritik Bitcoin. Buffett mengatakan bahwa “cryptocurrency pada dasarnya tidak memiliki nilai” dan merupakan “perangkat perjudian”.

Nouriel Roubini -seorang ekonom terkenal bahkan menyindir mata uang crypto tersebut. Pasalnya, ia mengatakan bahwa Bitcoin bukanlah mata uang.

Mengutip dari Yahoo Finance hari Senin (28/12/2020) lalu, Roubini mengatakan, “Pertama, menyebutnya sebagai uang digital, ini bukan uang digital. Ini bukan unit akun, bukan alat pembayaran. Ini bukan alat penyimpanan yang stabil. Kedua ini bahkan bukan aset”.

Tidak hanya soal Bitcoin saja, Roubini bahkan juga membahas tentang mata uang crypto yang lain. Menurutnya, seluruh mata uang crypto tidak memiliki tempat di portofolio investor ritel maupun institusional.

Namun, hal lain yang juga membuat orang tergila-gila pada Bitcoin adalah mengenai fenomena FOMO (Fear Of Missing Out). Di cryptocurrency, fenomena ini terjadi ketika banyak orang nekat membeli Bitcoin, Ripple, atau Ethereum di harga sangat tinggi, meski tak tahu sama sekali apa itu cryptocurrency. Mereka berharap kaya mendadak seperti orang lain yang sudah lebih dulu membelinya. Inilah yang disebut fenomena FOMO.

Lita Alisyahbana
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top