Membahas tentang Rupiah Digital, mungkin ada beberapa orang yang belum terlalu familiar dengan konsep tersebut. Meski demikian, perkembangan teknologi dan digitalisasi yang semakin pesat membuka peluang untuk adanya mata uang digital yang dapat digunakan dalam berbagai transaksi. Bahkan, Bank Indonesia (BI) pun telah mengakui keberadaan Rupiah Digital sebagai sesuatu yang patut untuk diperhatikan.
Bukan menjadi sebuah rahasia lagi jika kemajuan teknologi yang semakin pesat memungkinkan segala hal menjadi lebih mudah termasuk dalam dunia finansial. Namun, perkembangan teknologi ini juga membawa risiko tersendiri bagi pengguna uang digital. Bahkan BI sempat mengeluarkan pernyataan bahwa uang digital dalam bentuk Rupiah Digital memiliki risiko yang sama dengan mata uang kripto. Namun sebelum membahas lebih jauh terkait risiko yang dimaksud, tidak ada salahnya untuk memahami lebih dulu mengenai Rupiah Digital.
Apa yang Dimaksud dengan Rupiah Digital?
Dikutip dari sejumlah sumber, dijelaskan bahwa Rupiah Digital adalah mata uang digital yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan bernilai sama dengan Rupiah yang beredar di masyarakat. Konsep Rupiah Digital sendiri sebenarnya sudah diusung oleh BI sejak tahun 2018. Rupiah Digital diharapkan dapat mempermudah transaksi keuangan digital di Indonesia serta mendorong penggunaan uang elektronik yang lebih luas.
Ada dua desain Rupiah Digital yang disiapkan oleh BI. Pertama adalah berbasis token (token-based CBDC), yang tergantung pada penerima untuk melakukan verifikasi objek pembayaran dan memungkinkan untuk dapat ditransaksikan secara luring. Metode ini diperuntukkan bagi transaksi hingga ambang batas tertentu dan terekam di alamat dompet pengguna. Kedua adalah berbasis akun (account-based CBDC) yang membutuhkan verifikasi dan validasi identitas untuk melakukan pembayaran atau transfer, dan umumnya untuk transaksi dalam jumlah besar.
Baca Juga: Apa Beda Rupiah Digital, Uang Elektronik dan Kripto?
Tahapan pertama dalam pengembangan rupiah digital akan diterbitkan dalam jenis Rupiah Digital wholesale (w-Digital Rupiah) atau diluncurkan untuk grosir. BI akan menunjuk badan atau lembaga keuangan bank atau non-bank sesuai kapabilitasnya untuk melakukan konversi rekening giro masing-masing, sehingga dapat mengubah nilai rekening menjadi rupiah digital tanpa mengubah nominal uang yang beredar di Indonesia.
Jenis kedua merupakan Digital Rupiah ritel (r-Digital Rupiah) untuk masyarakat, yang akan melengkapi transaksi penggunaan uang kertas, uang logam, maupun e-money. Masyarakat dapat memiliki r-Digital Rupiah dengan menukarkan pada lembaga yang ditunjuk sebagai grosir. Dengan berpindah ke tangan konsumen, r-Digital Rupiah dapat memfasilitasi transaksi keuangan secara nasional maupun internasional dengan cepat dan mudah sehingga mendorong pertumbuhan konsumsi.
Risiko Rupiah Digital dan Kripto
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, transaksi Rupiah Digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) memiliki risiko yang sama dengan kripto terhadap perekonomian. Sehingga hal ini akan dibahas bersama dengan negara kawasan regional dalam pertemuan ASEAN Finance Minister and Central Bank Governors (AFMGM) di Bali.
“Kita akan membahas risiko dan implikasi (aset kripto) terutama makro impact financial impact-nya. (Sebab kami) bersama meyakini ada risiko”, katanya.
Dody menjelaskan bahwa transaksi kripto memiliki risiko terhadap penerbitan Rupiah Digital. Tidak hanya itu, Rupiah Digital yang diterbitkan juga akan memberikan dampak pada aliran modal karena volatilitasnya menjadi lebih cepat.
Menurutnya, bank sentral harus kembali meninjau ulang dampaknya terhadap ekonomi makro ketika terjadi volatilitas yang tinggi dalam penggunaan Rupiah Digital. Mengingat secara bentuk sulit untuk dikontrol bank sentral dalam konteks perdagangan. Apalagi hal ini bisa berdampak langsung terhadap tingkat inflasi.
Untuk itu, transaksi aset kripto dan penerbitan Rupiah Digital harus dilihat secara keseluruhan. Utamanya terhadap dampak ekonomi makro yang tidak hanya di regional ASEAN, tapi seluruh negara di dunia. Dalam tambahnnya, menurut Dody bahwa salah satu hal yang tersulit dalam mengawasi transaksi aset kripto maupun CBDC adalah mengenai kesenjangan data. Sebab aset kripto tidak bisa diawasi secara langsung oleh bank sentral, sedangkan Rupiah Digital mendapat pengawasan penuh. Sehingga, cara memitigasi terhadap kedua transaksi ini akan menjadi tantangan.
“Paling sulit adalah data gap bisa kita peroleh atau tidak karena kebijakannya yang akan kita keluarkan untuk kripto maupun CBDC yang akan kita lakukan. Kalau data gap-nya muncul, itu yang menyulitkan otoritas”, ungkapnya.
Baca Juga: Jika Rupiah Digital Dirilis, Bagaimana Nasib Uang Kertas dan Logam?
Pengembangan yang Terus Dikebut Demi Menjaga Kedaulatan
Sementara itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo menyebut jika Indonesia sedang memulai penggunaan mata uang digital. Hal ini dilakukan karena aset kripto membutuhkan referensi satuan hitung dari mata uang digital yang berdaulat. Oleh karena itu, bank sentral berkewajiban untuk mempercepat pengembangan mata uang digital bank sentral. Salah satunya dengan melakukan promosi CBDC kepada publik , termasuk negara kawasan ASEAN.
Sebagai informasi, sejak 2022 Indonesia telah menerbitkan consultative paper tahap I atau proyek garuda mata uang digital. Tujuannya untuk mendapatkan masukan terkait manfaat dan dampak dari Rupiah Digital yang disesuaikan dengan kebutuhan di masa mendatang. Sehingga Perry meyakini jika Rupiah Digital akan menjadi satu-satunya mata uang digital yang berdaulat.
“Ini (rupiah digital) akan menjadi satu-satunya mata uang digital berdaulat untuk penggunaan aset digital dan sebagai media referensi”, jelas Perry.
Dia menambahkan, dalam penggunaan mata uang digital Indonesia akan menggandeng lembaga internasional. Hal itu dilakukan untuk mengatur dan mengawasi aset keuangan digital. Selain itu, Rupiah Digital diyakini BI dapat menjaga kedaulatan rupiah di era digital. Termasuk mendukung integrasi ekonomi dan keuangan digital serta menciptakan peluang inklusi keuangan yang lebih merata dan berkelanjutan.
Dan tidak hanya berpotensi menjaga kedaulatan rupiah, Rupiah Digital juga diharapkan dapat menjembatani kebutuhan masyarakat dalam bertransaksi di era digital. Dalam pengertian lain adalah transaksi yang sesuai dengan kebutuhan bank sentral. Yakni seperti menjaga dan memelihara keberlangsungan sistem keuangan dengan menempatkan bank sentral pada porosnya. Dengan adanya Rupiah Digital, BI berpeluang untuk memperkuat sistem pembayaran dan keuangan Indonesia dalam era digital serta membangun economic sustainability.
Baca Juga: Rupiah Digital dan Kontrol dari Bank Indonesia
Pingback: Pasar Crypto Terdampak Kebijakan Dedolarisasi?